Disarikan dari munasabah rangkaian halaqah wustha ali bin abu thalib
Jejak dari Negeri Jauh
Ia datang dari Brasil, negeri di seberang samudra, seorang gadis muda bernama Juliana Marins, berusia 26 tahun. Dengan langkah ringan namun tekad besar, ia mendaki Gunung Rinjani, gunung agung di Lombok yang tak hanya menyimpan keindahan, tetapi juga ketegasan.
Juliana adalah pencari keheningan. Dalam catatan kecilnya tertulis:
“Aku ingin mendaki untuk mendengar alam, agar bisa mendengar diriku sendiri.”
Tak banyak yang ia tahu bahwa langkahnya menuju puncak Rinjani akan menjadi perjalanan terakhirnya di bumi.
Jurang Takdir dan Petaka
Pada 21 Juni 2025, setelah menyentuh puncak Rinjani, Juliana tergelincir di jalur curam dan sempit, jatuh ke dalam jurang sedalam 500–600 meter. Ia menghilang dalam sekejap mata.
Cuaca memburuk, kabut menebal, hujan turun mengguyur.
Pencarian dimulai. Namun medan berat dan cuaca ekstrem menghentikan setiap langkah penyelamatan.
Agam Rinjani: Jiwa dari Lereng
Di saat banyak yang menyerah, satu nama bangkit: Agam Rinjani, pemandu dan porter lokal yang telah turun-naik Rinjani ratusan kali.
Agam bukan siapa-siapa di mata dunia. Tapi dalam diam, ia adalah pahlawan bagi banyak jiwa yang pernah tersesat, jatuh, bahkan hilang.
“Dia pendaki, tamu Rinjani. Kalau ada yang jatuh, kita harus cari sampai ketemu,” ujar Agam sambil memanggul tali dan logistik.
Selama tiga hari, Agam menyusuri lereng, menggantungkan nyawa di tali, dan memohon keselamatan di tiap langkah.
Penemuan dan Renungan
Pada 24 Juni, jasad Juliana akhirnya ditemukan. Tubuhnya terbaring damai di antara bebatuan curam, wajahnya tenang, seolah tengah tidur.
Agam menunduk, menyeka air mata:
“Mungkin Rinjani tak membunuhnya. Mungkin Tuhan hanya ingin menjemputnya dengan cara paling senyap.”
Ibrah dan Wahyu: Dialog Antara Duka dan Cahaya
Musibah ini bukan hanya petaka, tetapi ibrah yang bercahaya. Dan di dalam Al-Qur’an, Allah telah memberi peringatan dan pelajaran bagi siapa yang mau merenung:
- Tentang Kematian yang Tak Pernah Bisa Ditebak
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati…”
(QS. Ali Imran: 185)
Juliana datang untuk hidup dalam alam, namun ia wafat dalam pelukan bumi. Allah mengingatkan bahwa kematian bukan hanya milik orang tua atau sakit. Ia bisa datang di puncak indah yang kita rindukan.
- Tentang Kuasa Allah atas Langit dan Cuaca
“Dialah yang memperlihatkan kilat kepadamu, menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dialah yang menurunkan hujan dari langit…”
(QS. Ar-Ra’d: 12)
Cuaca yang tiba-tiba berubah bukan sekadar fenomena. Ia adalah tanda. Ketika kabut menutup pencarian, dan hujan menghalangi penyelamatan, itu bukan semata ujian alam, tapi pertanda kekuasaan Tuhan atas segala peristiwa.
- Tentang Kemanusiaan yang Tak Mengenal Bangsa
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara…”
(QS. Al-Hujurat: 10)
Agam tak pernah mengenal Juliana. Tapi ia mencarinya seperti mencari anaknya sendiri. Inilah ukhuwah insaniyyah, persaudaraan atas dasar kemanusiaan—nilai Qur’ani yang lahir dari hati yang bersih.
- Tentang Tugas Manusia Menjaga Amanah Kehidupan
“Barangsiapa menyelamatkan satu nyawa, maka seakan-akan ia telah menyelamatkan seluruh manusia.”
(QS. Al-Ma’idah: 32)
Meski Juliana telah wafat, usaha Agam dan tim relawan untuk menemukan dan memulangkannya adalah amal mulia. Ia menjaga kehormatan orang yang telah tiada.
Gunung yang Memberi Pelajaran
Kini, Agam masih naik-turun Rinjani. Ia sering bercerita kepada pendaki:
“Rinjani bukan cuma soal puncak. Kadang, ia jadi tempat orang kembali kepada Tuhan. Tapi jangan takut… yang penting kita naik dengan niat baik, dan pulang dengan hati yang bersih.”
Dan barangkali, dalam kabut senja di lereng gunung, nama Juliana Marins akan tetap berbisik:
“Aku tidak mati sia-sia. Aku mati untuk menghidupkan kesadaran banyak orang.”