Oleh Ustadz M. Alimin Mukhtar, penulis adalah pengasuh Yayasan Pendidikan Integral (YPI) Ar Rohmah Pondok Pesantren Hidayatullah Batu, Malang, Jawa Timur
Makassar, AlIslamyaabunayya.Or.Id —– Diceritakan di suatu kampung ada seorang kakek yang punya kebiasaan unik dalam berinfak. Pada hari Jum’at, ketika kotak infak diedarkan di masjidnya, ia segera merogoh saku dan memasukkan uang dengan tangan kanannya. Namun, secara bersamaan ia juga menyembunyikan tangan kirinya ke belakang punggungnya.
Karena penasaran, seseorang bertanya kepada beliau mengapa berbuat demikian. Sang kakek menjawab, “Lho, kan, ada haditsnya. Ketika berinfak, jangan sampai tangan kiri kita melihat apa yang diberikan oleh tangan kanan”.
Kakek itu benar, walau pemahaman beliau terhadap hadits diatas melulu harfiah. Beliau merujuk sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah, tentang tujuh golongan yang dilindungi Allah pada Hari Kiamat kelak.
Sebetulnya, yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah kiasan betapa tersembunyinya infak yang disalurkan, seolah-olah sepasang tangan kita pun tidak saling tahu, apalagi orang lain.
Begitulah mestinya dalam beramal. Jangan digembar-gemborkan. Sebab pada kenyataannya, Allah tidak pernah luput dalam mencatat dan membalas. Diriwayatkan bahwa Nabi ‘Isa pernah bersabda:
“Jika tiba hari puasa salah seorang dari kalian, maka minyakilah jenggot kalian dan basahi bibir kalian, sehingga orang menyangka bahwa kalian tidak berpuasa. Bila memberi sesuatu dengan tangan kanan, maka sembunyikan agar tidak diketahui oleh tangan kiri. Jika shalat di rumah, maka pasanglah tabir; karena sesungguhnya Allah membagikan sanjungan sebagaimana Dia membagikan rezeki.” (Riwayat Ibnu Abu Dunia dalam al-Ikhlash wan Niyyah).
Akan tetapi, sayangnya, adab dalam beramal yang seperti ini sudah tidak laku lagi di zaman sekarang. Sepertinya, seseorang tidak puas hanya mendapat sanjungan dari Allah dan dijanjikan keberuntungan di surga. Ia menginginkan balasan instan dan kongkret, kontan di dunia ini.
Maka, dibuatlah banner-banner raksasa yang dipajang di jalan-jalan protokol di setiap kota besar maupun kecil, juga pamflet-pamflet yang dipasang di pohon, tiang listrik, poskamling, tembok pembatas, mulut gang, bahkan jembatan dan fasilitas umum. Semoga semua orang tahu siapa dia dan apa saja yang telah diperbuatnya.
Nilai-nilai amal shalih yang mestinya dipersembahkan hanya untuk Allah dan menjadi tabungan di akhirat, kini dideretkan di sepanjang jalan. Tidak cukup sampai di situ, karena sebagian orang juga memasang advertising amal shalihnya di media massa, mulai dari koran, majalah, internet, televisi, radio, bahkan jejaring sosial dan SMS.
Maka, tataplah seluruh wajah dan jargon yang dicetak besar-besar itu. Bertanyalah, apa sebenarnya yang kita inginkan dengan semua ini? Siapa sebenarnya yang kita tiru?
Padahal, menurut ulama’ terdahulu, amal terbaik justru yang disembunyikan, bukan yang disiar-siarkan. Al-Fudhail bin ‘Iyadh (w. 187 H) berkata, “Sebaik-baik amal adalah yang paling tersembunyi, yang paling kokoh dari godaan syetan, dan paling jauh dari riya’.” (Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Bahkan, di mata para Sahabat, perbuatan seperti itu dianggap sebagai sebuah dosa yang sangat besar. Buraidah bin Hushaib al-Aslami bercerita, “Aku turut menyaksikan Penaklukan Khaibar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku termasuk salah seorang yang memanjat celah (di benteng Yahudi), lalu aku bertempur sehingga beliau bisa melihat luka-luka yang aku dapatkan dan juga kedudukanku. Aku pun terluka, dan aku mengenakan baju berwarna merah (ketika itu). Sungguh aku tidak mengetahui satu pun dosa yang pernah aku lakukan dalam Islam yang lebih besar dari itu, yaitu keinginan menjadi terkenal.” (Riwayat Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyqa).
Sedemikian kerasnya ulama’ terdahulu dalam menyembunyikan amal, sampai-sampai istrinya sendiri tidak tahu, padahal mereka tidur satu bantal. Selama 20 tahun mereka sering menangis karena takut kepada Allah, namun keluarganya tidak pernah memergokinya.
Ketika mereka mengerjakan shalat berjamaah lalu hati mereka tergetar dan mata mereka menangis mendengar ayat-ayat Allah, bahkan teman di sampingnya pun tidak menyadarinya.
Muhammad bin Wasi’ (Tabi’in, w. 123 H) bercerita, “Sungguh saya telah menjumpai banyak tokoh. Ada seseorang (diantara mereka) yang mana kepalanya dan kepala istrinya sama-sama berada di atas satu bantal. Sungguh bantal yang berada di bawah pipinya telah basah oleh air matanya, namun istrinya tidak menyadarinya. Demi Allah, sungguh aku telah mendapati banyak tokoh; salah satu dari mereka berdiri dalam barisan (shalat berjamaah), lalu air mata mengalir membasahi pipinya, namun teman di sampingnya tidak menyadarinya.” (Riwayat Ibnu Abi Dunia dalam an-Ikhlash wan Niyyat no. 36).
Beliau juga bercerita, “Sungguh ada seseorang yang menangis selama 20 tahun, dan istrinya selalu bersamanya, tetapi istrinya itu tidak pernah mengetahuinya.” (Riwayat Ibnu Abi Dunia dalam an-Ikhlash wan Niyyat no. 51).
Bagaimana dengan kita di zaman ini? Mengapa lebih suka memamerkan amal melalui aneka saluran dan cara? Hasan al-Bashri (Tabi’in, w. 110 H) berkata, “Ada seseorang yang tekun beribadah selama dua puluh tahun, tapi tetangganya tidak mengetahuinya”.
Setelah mengutip riwayat ini, Hammad bin Zaid berkomentar, “Boleh jadi, salah seorang dari kalian shalat semalam suntuk atau sebagian malam saja, lalu pada pagi harinya sudah (dibicarakan) panjang lebar oleh tetangganya.” (Riwayat Ibnu Abi Dunia dalam an-Ikhlash wan Niyyat no. 39).
Namun, sekarang mari kita tinggalkan orang-orang yang gemar menyiarkan kebaikannya melalui baliho-baliho itu, dan kita beralih kepada orang-orang lain yang sebenarnya sama saja. Intinya serupa, walau caranya sedikit berbeda.
Tengoklah status facebook teman-teman Anda, juga milik Anda sendiri. Apa yang ter-update-kan di dalamnya? Bukankah sebagian besar orang didorong untuk pamer segala rupa pernik kehidupannya? Tidak cukup dengan foto-foto genit yang dipajang, bahkan aktivitas harian pun diperbaharui terus-menerus.
Seolah-olah kita sangat berharap agar dunia tahu, bahkan seisi jagad raya mengenal kita luar dalam. Kita dibuat merasa sebagai tokoh besar yang wajib diketahui seluruh sisi kehidupannya, tidak peduli penting ataukah tidak.
Sungguh aneh, kita memagari tempat tinggal kita dengan teralis-teralis besi, memasang tirai di seluruh jendela dan pintu, membuat dinding rumah yang tebal dan permanen, agar rahasia kita tertutupi dan aurat kita terlindung; namun pada saat bersamaan kita justru membongkar seluruh yang kita sembunyikan itu melalui jejaring sosial. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un!
Di titik ini, bila kita hendak berbaik sangka, semoga kebaikan-kebaikan yang mereka sembunyikan jauh lebih banyak lagi. Jika tidak, pasti hanya tersisa aib dan cacat belaka, karena kebaikan-kebaikannya sudah disiarkan seluruhnya. Maka, sebelum jauh dan terlanjur, berhentilah.
Sebelum Allah membongkar aib kita, tutuplah rapat-rapat. Takutlah kepada ancaman Allah, yang sanggup merobek tirai paling tebal sekali pun. Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa yang menyiar-nyiarkan kebaikannya, niscaya Allah akan menyiar-nyiarkan pula keburukannya. Barangsiapa yang mempelihat-lihatkan kebaikannya, niscaya Allah akan memperlihat-lihatkan pula keburukannya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Sepertinya, sabda Rasulullah ini telah terbukti di zaman kita. Belum lama wajah-wajah tertentu kita kenal hanya lewat kebaikan-kebaikan yang disiarkannya, namun tiba-tiba wajah-wajah yang sama telah menghiasi media massa dikarenakan segala aib dan kejahatannya. Na’udzu billah min dzalik!. Wallahu a’lam